Sabtu, 21 Mei 2011

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SD N 2 Rawa Laut

BAB I
PENDAHULUAN


1.1      Latar Belakang

Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS.  
Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya
Dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.

Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, MBS dinamakan sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MBS merupakan inovasi dalam pelibatan masyarakat dan orang tua peserta didik untuk peningkatan mutu pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Selain itu, kemunculan MBS ini juga didasari oleh turunnya Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan dengan tegas bahwa setiap warga negara berhak mendapat layanan pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu tidak hanya diukur dari produk (output), tetapi terkait dengan input dan proses penyelenggaraan pendidikan. Upaya peningkatan mutu layanan pendidikan harus melibatkan stakeholders pendidikan, khususnya masyarakat dan orang tua peserta didik.
Dalam rangka mengetahui bagaimana implementasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah pada tingkat satuan pendidikan sekolah dasar, khususnya sekolah dasar negeri, maka kami melakukan observasi yang berkaitan dengan pelaksanaan MBS di SD N 2 Rawa Laut.


1.2     Rumusan Masalah
a)    Apakah Manajemen  Berbasis Sekolah (MBS) telah diterapkan di SD N 2 Rawalaut?
b)   Bagaimana pelaksanaan Manajemen  Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut?
c)    Berapa besar tingkat partisipasi orang tua murid dalam mendukung pelaksanaan Manajemen  Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut?

1.3     Batasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan, kami membatasi masalah sebagai berikut:
a)    Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut, yang meliputi kemandirian,  traansparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
b)   Tingkat parpartisipasi orang tua murid dalam mendukung pelaksanaan Manajemen  Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut


1.4     Tujuan Observasi
Adapun tujuan dilakukannya observasi mengenai konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, sebagai berikut:
a.    Melihat kemandirian SD Negeri 1 Rawa Laut dalam pengorganisasian suatu program sekolah
b.    Melihat bagaimana SD Negeri 1 Rawa Laut melakukan transparansi dan akuntabilitas
c.    Mengetahui seberapa besar partisipasi masyarakat dan orang tua murid dalam pelaksanaan program yang ada di SD Negeri 1 Rawa Laut
d.    Mempelajari bagaimana usaha sekolah untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekolah SD Negeri 1 Rawa Laut
e.    Mengetahui peningkatan kualitas SD Negeri 1 Rawa Laut.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing. Konsekuensi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan. Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Pertama, istilah manajemen memiliki banyak arti. Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manajemen pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis atau dasar. Ketiga, kata sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sedangkan sekolah merupakan organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesiona-listik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Motif diterapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya MBS di suatu negara. Menurut Bank Dunia dalam Q/A for the web/knowledge nugget yang ditulis oleh Edge (2000), terdapat delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Tujuan MBS bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, relevansi pendidikan baik menyangkut mutu pembelajaran, sumber daya manusia, kurikulum yang dikembangkan, serta tata pelayanan pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS (Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:
Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kalau Anda perhatikan pilar kebijakan pendidikan nasional, makna mutu dikaitkan dengan relevansi pendidikan. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Akan tetapi, secara terpisah juga dapat dilihat bahwa makna mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang tersedia dilakukan secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, MBS juga bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektif artinya pengelolaan dan penggunaan semua input dalam bentuk non-uang (jumlah dan jenis buku, peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan hasil yang dicapai (output-outcome). Efektivitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan di sekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif dan tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik diperlukan penerapan indikator atau ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS, setiap sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, diharapkan dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks sosial budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran, atau efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa). Dengan demikian, MBS diharapkan dapat memenuhi efektivitas dan efisiensi sekolah, karena perencanaan dibuat sesuai dengan kebutuhan sekolah, sedangkan pelaksanaannya juga diawasi oleh masyarakat.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang dimiliki sekolah dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada siswa. Dengan MBS setiap anak diharapkan akan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan pendidikan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal.
Kedua, partisipatif, yakni meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melaui pengambilan keputusan bersama;
Ketiga, akuntabilitas, yaitu meningkatkan pertanggungjawaban sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggungjawaban sekolah lebih pada masalah administratif-keuangan dan bersifat vertikal (ke atas) sesuai jalur birokrasi. Tanggung jawab atas hasil pendidikan, dengan demikian, ada pada pundak pengambil kebijakan (pusat kekuasaan), yang akhirnya menjadi sangat berat. Padahal, kenyataannya pusat otoritas tidak dapat mengendalikan semua yang terjadi di sekolah yang kondisi dan konteksnya sangat beragam. MBS dengan desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi juga sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas segala yang dikerjakan dan hasil kerjanya. Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya (baik administratif-finansial maupun tingkat kualitas yang dicapai) diberikan bukan hanya kepada satu pihak dalam hal ini pusat/birokrasi, tetapi kepada berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya orang tua, komite sekolah (masyarakat), dan pengguna lulusan, selain kepada guru-guru dan warga sekolah.
Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang pendidikan yang akan dicapai.
Selanjutnya, menurut Nurkholis (2003:25), penerapan MBS mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan.
Pertama, secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah. Keahlian dan kemampuan personil sekolah itu dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Keahlian dan kemampuan personil sekolah dihargai yang selanjutnya menimbulkan rasa percaya diri.
Kedua, meningkatkan moral guru. Moral guru meningkat karena adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah. Keadaan ini diharapkan dapat mendorong guru untuk mendukung dengan sepenuh tenaga dalam mencapai tujuan dan tidak berusaha untuk menghalang-halangi pencapaian tujuan tersebut.
Ketiga, keputusan yang diambil sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena konstituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan. Akhirnya, mereka dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
Keempat, menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan lebih rasional karena mereka tahu kekuatannya sendiri, terutama kekuatan keuangannya.
Kelima, mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan.
Keenam, meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai berikut: (1) memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran; (2) memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas); (3) memfokuskan akuntabilitas pada keputusan; (4) mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program; (5) mengatur ulang sumber daya untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di sekolah; (6) mengarahkan pada penganggaran yang realistik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari setiap program; serta (7) meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan barupada setiap tingkat. (http://blog.unila.ac.id/sugiyanto)





BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  Waktu dan Tempat Penelitian
 Wawancara dilaksanakan pada hari Sealasa, 12 April 2011 di SD N 2 Rawalaut, pukul 10.00 WIB s.d selesai.

3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai     berikut:
a.  Interview
 Telah dilakukan wawancara dengan wakil kepala sekolah SD N 2 Rawalaut
b. Studi Pustaka
Sumber informasi tentang Manajemen Berbasis Sekolah diperoleh dari literatur yang mendukung baik dari buku maupun dari internet.




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1    Profil SD Negeri 2 Rawa Laut
Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut beralamat di Jalan Cendana No.33 Rawa Laut, Kecamatan Tanjungkarang Timur, Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2008 SD N 2 Rawa Laut diamanahkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional (RSDBI). Sekolah ini memiliki Nilai Akreditasi A (94).
Jumlah guru yaitu 107 orang, dengan persentase guru yang S2/S3 0,02 % dari jumlah guru seluruhnya. Sedangkan jumlah tenaga pendukung yaitu 33 orang. Jumlah ruangan yang digunakan untuk ruang kelas yaitu 32 ruang, dilengkapi juga dengan ruangan lain, yaitu perpustakaan, lab. IPA, multimedia, lab. Bahasa, lab. Komputer, aula, UKS, dan Koperasi.
Memiliki luas tanah yaitu 6.800 m2 dengan luas tanah terbangun 1489 m2 dan luas tanah siap bangun 412 m2. Juga terdapat beberapa lapangan olahraga, yaitu lapangan basket, limpat jauh, bola volly, dan tenis meja dan lapangan upacara.
Prestasi UAN pada dua tahun terakhir yaitu nilai rata-rata UAN yaitu 8.52 pada tahun 2008/2009, dan 7.98 pada tahun 2009/2010. Sehingga SD 2 Rawalaut menempati peringkat 2 untuk tingkat kecamatan, dan peringkat 3 untuk tingkat kabupaten/kota. Tingkat kelulusan yang dicapai pada dua tahun terakhir yaitu 100 % dari 332 siswa yang mengikuti Ujian Nasional dan semuanya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Telah banyak prestasi yang diperoleh, baik prestasi di bidang akademik maupun di bidang non-akademik, seperti juara 2 Olympiade Matematika tingkat propinsi, dan Juara 1 lomba futsal tingkat propinsi.

4.2     Pelaksanaan MBS di SD N 2 Rawalaut

Manajemen Berbasis Sekolah atau yang lebih kita kenal dengan sebutan   MBS adalah bentuk penerapan otonomi daerah bidang pendidikan sebagai alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah serta memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat.
Pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Beberapa perihal ataupun bidang yang kami amati mengenai proses berjalannya Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) di SD N 2 Rawalaut ini meliputi sebagai berikut:

A.   Otonomi Sekolah

Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing. Konsekuensi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan. Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Otonomi Sekolah yaitu kewenangan/ kemandirian sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya sendiri. Kemandirian sekolah ini juga harus didukung oleh sejumlah kemampuan, antara lain: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan cara memilih pelaksanaan yang baik, kemampuan memobilitasi sumber daya, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 12 April 2011, diketahui bahwa SD N 2 Rawa Laut telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang.

Dikatakan bahwa pelaksanaan MBS ini cukup baik, tiap-tiap koordinator diberikan kewenangan untuk melakukan yang terbaik dalam usaha peningkatan mutu sekolah. Misalnya pemberian wewenang kepada guru untuk menerapkan sistem dan teknik pembelajaran yang dibutuhkan siswanya, tidak hanya terpaku pada satu model pembelajaran. Di SD N 2 Rawa Laut ini digunakan model pembelajaran yang bervariasi, tergantung pada kreativitas guru dan kesadarannya sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, yaitu sejak tahun 1972 ia telah menerapkan sistem belajar dari siswa, guru memberikan materi kepada siswa, kemudian siswa dituntut aktif mencari sendiri konsep-konsep yang berhubungan dengan materi tersebut, lalu mengembangkannya, di sekolah guru akan membahas beberapa konsep yang telah ditemukan oleh siswa dan membandingkannya, sehingga akhirnya siswa menemukan konsep yang dianggap paling mudah. Siswa tidak hanya menerima konsep-konsep materi yang sudah ada, jadi siswa bukan dijadikan sebagai objek, melainkan mitra yang dapat dieksplor kemampuannya. Siswa juga dapat belajar dengan teman lainnya yang sudah mengerti lebih dulu, dikenal dengan tutor sebaya.

Selain itu guru diberikan kewenangan untuk memilih sumber bahan pelajaran yang dibutuhkan, tidak hanya terpaku pada satu sumber saja, misalnya pada satu buku pelajaran. Guru kelas berwenang memberikan pelayanan individu kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Menurutnya, konsep Manajemen Berbasis Sekolah sebenarnya bagus jika dilaksanakan sebaik-baiknya, karena manajemen berbasis sekolah juga melatih kedisiplinan semua warga sekolah.
·                     Pengambilan Keputusan Sekolah
Pengambilan keputusan adalah hal yang penting di dalam struktur organisasi  sekolah, karena hal itu akan menentukan kemana sekolah tersebut akan dibawa untuk ke depannya. Untuk SD N 2 Rawalaut sendiri pengambilan keputusan itu dilakukan melalui rapat-rapat, rapat itu dilakukan secara rutin, yaitu 1 bulan sekali rapat yang dilakukan oleh para dewan guru, membahas mengenai evaluasi kerja dan informasi. Kemudian 1 tahun sekali setelah ujian semester dilakukan  bersama orang tua siswa, untuk mengevaluasi hasil belajar dan peningkatan prestasi dan mutu akademik.

1 komentar: